





Bahasa Rejang, Bahasa Ibu yang Mulai Tersingkirkan

Oleh: Marini
Editing dan Publish : Wuwun Mirza
( Dosen Prodi Akuntansi FE UPP )
Suku Rejang adalah satu di antara suku ter-tua di Sumatera. Suku Rejang dikenal dengan bahasa Jang atau disebut bahasa Rejang dan aksara Ka-ga-nga yang mendiami daerah di Bengkulu (Pujiastuti 2017). Mengingat bahasa daerah merupakan kekayaan budaya Nasional maka bahasa Rejang yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia juga merupakan salah satu kekayaan budaya Nasional Indonesia yang harus dihormati dan dipelihara Negara dan bangsa Indonesia khususnya bagi masyarakat suku Rejang (Sugiyati 2019).
Namun menurut Lazuardi 2023, Bahasa Rejang kian tersisihkan dengan kurangnya pemakaian bahasa Rejang di kehidupan sehari-hari. Seiring berkembangnya zaman pada era globalisasi terdapat pergeseran terhadap penggunaan bahasa Rejang. Sehingga bahasa Rejang menghadapi tantangan besar yang dapat mengancam keberlangsungannya.
Salah satu faktor utama yang memengaruhi kelangsungan bahasa Rejang adalah pergeseran pola komunikasi di dalam keluarga orang rejang. Banyak orang tua suku Rejang yang memilih menggunakan bahasa melayu Bengkulu (baso-baso) untuk berbicara dengan anak-anak mereka sejak dini. Alasan utamanya adalah agar anak-anak lebih mudah memahami pelajaran di sekolah, yang mayoritas menggunakan bahasa melayu. Selain itu, penggunaan bahasa melayu Bengkulu juga dianggap lebih relevan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, keputusan ini berdampak signifikan terhadap keberlangsungan bahasa Rejang itu sendiri. Anak-anak yang tidak terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa Rejang di rumah cenderung tidak menguasai bahasa tersebut. Akibatnya, mereka tidak memiliki kemampuan untuk meneruskan bahasa itu kepada generasi setelahnya.
Di kalangan anak muda, bahasa Rejang juga sudah semakin jarang digunakan, bahkan di antara sesama suku Rejang. Ketika berkumpul dengan teman sebaya, bahasa melayu Bengkulu (baso-baso) atau bahasa gaul menjadi pilihan utama. Dalam beberapa kasus, bahasa Rejang dianggap "kuno" atau bahkan "memalukan" untuk digunakan dalam pergaulan.
Fenomena ini mencerminkan adanya perubahan pandangan terhadap identitas budaya. Bahasa Rejang tidak lagi dianggap sebagai simbol kebanggaan atau keunikan, melainkan sebagai sesuatu yang tabu atau tidak relevan. Tanpa disadari, pandangan seperti ini mempercepat proses kepunahan bahasa. Bahkan saya sendiripun, ketika bertemu dengan teman sesama suku Rejang terkadang merasa canggung untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Rejang.
Apakah Bahasa Rejang Akan Punah?
Bahasa daerah di Indonesia menjadi bahasa pertama atau dapat disebut sebagai bahasa ibu. Akan tetapi, semakin berkembangnya teknologi dan berkembang zaman telah membuat seolah bahasa daerah kehilangan daya tariknya ( Anika, 2022).
Menurut Wibowo, Sarwo 2016 bahasa Rejang tergolong bahasa yang terancam punah (endangered). Meskipun secara kuantitatif jumlah penutur yang masih menggunakan bahasa Rejang hingga ke generasi terakhir lebih banyak dari bahasa Enggano, hasil ini cukup mengejutkan mengingat bahasa Rejang memiliki jumlah penutur terbesar di Provinsi Bengkulu.
Sehingga bahasa Rejang menghadapi tantangan yang lebih besar, kemungkinan bahasa Rejang akan lebih cepat punah dibandingkan dengan suku-suku lain yang ada di Sumatera seperti Minangkabau, Batak, atau Melayu. Karena suku Rejang merupakan suku yang kecil dan mayoritas hanya bermukim di wilayah Bengkulu, dengan sedikit diaspora ke luar daerah.
Ketika suatu bahasa hanya digunakan oleh komunitas kecil di satu wilayah terbatas, risiko kepunahan menjadi lebih besar. Dalam kondisi seperti ini, jika bahasa tersebut tidak digunakan secara aktif dalam kehidupan sehari-hari, generasi berikutnya akan kehilangan kontak dengan bahasa itu lebih cepat.
Namun, kepunahan bahasa bukanlah sesuatu yang tak terelakkan. Masih ada harapan untuk mempertahankan bahasa Rejang jika langkah-langkah strategis segera diambil.
Upaya Pelestarian yang Bisa Dilakukan seperti banyak bahasa daerah lainnya, bahasa Rejang menghadapi tantangan besar akibat perubahan sosial, modernisasi, dan globalisasi. Untungnya, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan untuk menjaga eksistensinya di tengah tantangan tersebut.
Salah satu cara paling efektif untuk melestarikan bahasa adalah dengan menjadikannya bagian dari sistem pendidikan. Di Rejang Lebong, upaya ini telah diwujudkan melalui mata pelajaran muatan lokal di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, hingga menengah atas. Bahkan, di Universitas Pat Petulai, mata kuliah wajib bertajuk Kearifan Lokal Budaya telah diterapkan. Mata kuliah ini tidak hanya mengajarkan bahasa Rejang tetapi juga menggali lebih dalam tentang budaya Rejang, termasuk adat istiadat, tradisi, dan nilai-nilai leluhur. Hal ini memberikan kesempatan kepada generasi muda, terutama yang duduk di bangku kuliah, untuk memahami, menghargai dan mencintai budaya mereka secara lebih mendalam. Langkah ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan formal memiliki peran strategis dalam menjaga bahasa Rejang tetap hidup, sekaligus menjadi alat untuk membangun rasa bangga terhadap identitas budaya di kalangan generasi muda. Sehingga, jika sesama suku rejang bertemu tidak malu untuk menggunakan bahasa rejang sebagai bahasa ibu mereka. Amen ko tun jang, makie baso jang bae te
Di era digital ini, media dan teknologi menjadi alat yang sangat ampuh untuk menjangkau generasi muda. Sudah banyak kreator digital yang menggunakan bahasa Rejang dalam konten-konten mereka terutama di media sosial Facebook. Fenomena ini mencerminkan bahwa bahasa Rejang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kehadiran konten-konten berbahasa Rejang di platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram berhasil menarik perhatian generasi muda yang sebelumnya mungkin merasa jauh dari bahasa ini. Dengan cara yang kreatif dan menghibur, bahasa Rejang kembali menjadi sesuatu yang relevan dan menarik bagi masyarakat.
Bukan hanya menjadi kajian pemerintah dan anak muda, peran orang tua sangatlah penting sebagai penjaga utama warisan budaya dalam keluarga. Meskipun banyak keluarga suku Rejang kini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, ada kesadaran yang mulai tumbuh untuk kembali mengenalkan bahasa Rejang kepada anak-anak mereka sejak dini.
Setiap tahun, festival budaya dan acara seni di Rejang Lebong sering kali menampilkan tradisi khas suku Rejang, termasuk bahasa dan seni pertunjukannya. Seperti lomba Rejung (Syair), Sambei (nyanyi-an tradisional), Serambeak (peribahasa), lomba bekulo (perasanan) dan lain sebagainya. Kegiatan ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana edukasi budaya bagi masyarakat. Generasi muda yang terlibat dalam lomba-lomba ini dapat belajar tentang bahasa dan tradisi Rejang secara langsung, sehingga merasa lebih dekat dan bangga dengan identitas budaya mereka.
Langkah penting lainnya adalah dokumentasi bahasa Rejang dalam bentuk tulisan, rekaman audio, atau video. Pemerintah daerah dan akademisi telah bekerja sama untuk mendokumentasikan bahasa ini agar tidak hilang begitu saja. Hasil dari dokumentasi ini tidak hanya berguna untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Buku-buku sejarah, buku hukum adat (Kelpeak Ukum Adat Ngen Riyan Ca-o Kutei Jang Kabupaten Rejang Lebong) kamus bahasa Rejang, hingga arsip audio-visual yang merekam cara pengucapan dan penggunaan bahasa Rejang dalam konteks sehari-hari menjadi warisan yang sangat berharga. Selain itu, dokumentasi juga menjadi sumber referensi yang penting bagi penelitian akademik tentang bahasa dan budaya Rejang, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Perjuangan yang tidak mudah, tetapi berharga Bahasa Rejang saat ini berada di persimpangan jalan antara punah atau bertahan. Meski menghadapi banyak tantangan, bahasa ini masih memiliki peluang untuk dilestarikan jika semua pihak seperti pemerintah, komunitas, hingga individu bersatu untuk melindunginya. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah warisan budaya yang mencerminkan identitas dan sejarah suatu kelompok masyarakat. Jika bahasa Rejang punah, sebagian dari jati diri suku Rejang juga akan hilang. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk mengambil tindakan nyata demi menjaga keberlangsungan bahasa ini.
Keberhasilan pelestarian bahasa Rejang sangat bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat.
Dengan terus memupuk rasa bangga terhadap bahasa dan budaya sendiri, bahasa Rejang tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang di tengah arus modernisasi. Mari kita jaga bahasa Rejang sebagai bagian dari identitas bangsa yang beragam.
Maro ite jemago baso jang, jijei bagian kunei warisan budayo.
Daftar Pustaka :
Pujiastuti, Indah. "Peribahasa Bahasa Rejang." GENTA BAHTERA: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan 3.2 (2017): 235-247.
Anika, Luci, Irwan Satria, and Wenny Aulia Sari. "Pemertahanan Bahasa Rejang Sebagai Wujud Identitas Masyarakat Di Desa Limbur Baru Kecamatan Muara Kemumu Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu." JPI: Jurnal Pustaka Indonesia 2.1 (2022): 76-86.
Sugiyati, Marina Siti. "THE MORPHOPHONEMICS IN REJANG LANGUAGE." International Seminar and Annual Meeting BKS-PTN Wilayah Barat. Vol. 1. No. 1. 2019.
Lazuardi, Dian Ramadan, et al. "PELATIHAN BAHASA REJANG MELALUI PENDOKUMENTASIAN CERITA RAKYAT REJANG LEBONG BAGI REMAJA DI KELURAHAN KARANG ANYAR KABUPATEN REJANG LEBONG." Bakti Nusantara Linggau: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 3.2 (2023): 34-40.
Wibowo, Sarwo F. "Pemetaan Vitalitas Bahasa-Bahasa Daerah Di Bengkulu: Pentingnya Tolok Ukur Derajat Kepunahan Bagi Pelindungan Bahasa Daerah." Ranah: Jurnal Kajian Bahasa 5.2 (2016): 139-151.