Pengaruh Pola Asuh Otoriter terhadap Kesejahteraan Psikologis Anak

Bagikan
By Admin - OneNewsBengkulu.Com 06 Nov 2025, 17:26:36 WIB Kabupaten Rejang Lebong
Pengaruh Pola Asuh Otoriter terhadap Kesejahteraan Psikologis Anak

Gambar : Aura Karamina Hashifa Mahasiswa Universitas Airlangga Program Studi Psikologi


Onenewsbengkulu.com | Rejang Lebong - Banyak orang tua mengira bahwa cara terbaik mendidik anak adalah dengan aturan yang ketat. Bagi mereka, anak yang baik adalah anak yang selalu patuh kepada orang tua.

Pola asuh seperti ini dipercayai akan membentuk anak menjadi pribadi kompeten dan tanggung jawab. Pandangan tersebut masih umum ditemukan di berbagai keluarga di

Indonesia. Namun, pola pengasuhan demikian perlu dipertimbangkan kembali dari sisi psikologis anak. Pola asuh seperti itu dikenal dengan istilah pola asuh otoriter (authoritarianparenting). Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang mendasarkan pada aturan yang berlaku dan memaksa anak untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginan orang tua. 

Ciri - cirinya yaitu kontrol yang tinggi, pemberian hukuman jika salah, jarang memberikan pujian, dan komunikasi satu arah. Sekilas tampak efektif menciptakan kedisiplinan, tetapi di balik itu, ada dampak serius terhadap kesejahteraan batin sang anak. 

Kesejahteraan psikologis tidak hanya berarti anak tidak stres. Ia mencakup rasa penerimaan diri, rasa aman, serta kemampuan mengatasi tantangan. Anak yang tumbuh di bawah tekanan pola asuh otoriter sering kali kesulitan merasakan hal-hal itu. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter cenderung mematuhi perintah bukan karena pemahaman, melainkan karena tekanan.

Orang tua memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam membentuk perilaku anak. Penelitian yang dilakukan oleh Fitri, Laily, dan Wicaksono (2023) di MTs NU Trate

Gresik menemukan bahwa pola asuh otoriter berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan psikologis remaja awal. Dari 198 siswa yang diteliti, semakin tinggi tingkat otoritarianisme orang tua, semakin rendah kesejahteraan psikologis anak. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Anggraeni dan Kusumaningrum (2024) di Sleman, Yogyakarta, terhadap 200 remaja. Mereka menemukan hubungan negatif antara pola asuh otoriter dan kesejahteraan psikologis, dengan

pengaruh lebih kuat jika pola otoriter diterapkan oleh ibu. Hal serupa juga terlihat dalam studi Dari, Hendar, dan Ariyati (2023) terhadap siswa SMA Taruna Gajah Mada Metro. Anak-anak yang hidup dalam kontrol ketat tanpa kehangatan orang tua cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah, mudah cemas, dan sulit menjalin hubungan sosial yang sehat.

Psikolog Edward Deci dan Richard Ryan melalui Self-Determination Theory menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar yaitu otonomi, kompetensi, dan keterhubungan. 

Anak yang tidak diberi ruang untuk memilih, mencoba, ataudidengar pendapatnya akan kehilangan rasa otonomi. Ketika segala sesuatu diatur secara kaku, mereka sulit merasa kompeten karena tidak diberi kesempatan untuk belajar dari pengalaman. Tanpa kehangatan serta komunikasi, keterhubungan antara orang tua dan anak pun terabaikan. 

Akibatnya, anak-anak dalam pola asuh otoriter sering merasa takut berbuat salah, tidak percaya diri, sulit mengekspresikan emosi, tidak dapat membuat keputusan sendiri, dan cenderung tertutup. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan kebahagiaan, membuat mereka mudah stres, bahkan rentan terhadap gangguan kecemasan.

Dengan kata lain, kedisiplinan yang berlebihan justru bisa menggerogoti ketenangan batin anak. Orang tua yang otoriter akan menetapkan batasan yang tegas dan tidak akan memberipeluang yang besar terhadap anak untuk berbicara ataupun mengungkapkan perasaannya. Hal ini menyebabkan anak menjadi kurang inisiatif, cenderung ragu, dan akan mudah gugup.

Namun demikian, tidak semua anak bereaksi sama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konteks budaya turut memengaruhi bagaimana anak merespons pengasuhan otoriter. Di budaya yang menekankan penghormatan terhadap orang tua seperti di Indonesia, pola asuh otoriter kadang dianggap “wajar”. kontrol orang tua sering diartikan sebagai bentuk perhatian dan keterlibatan emosional, bukan dominasi. 

Tetapi meskipun norma budaya dapat memperlemah efek negatifnya, penelitian tetap menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis anak lebih terjaga ketika pengasuhan dijalankan dengan keseimbangan antara ketegasan dan kehangatan.

Menjadi orang tua memang bukan perkara mudah. Di satu sisi, orang tua ingin anak disiplin dan bertanggung jawab. Di sisi lain, mereka juga ingin anak tumbuh bahagia dan percaya diri. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan keduanya. Disiplin tidak harus berarti keras. Orang tua bisa menegakkan aturan dengan tetap memberikan penjelasan, mendengarkan pendapat anak, dan menunjukkan empati ketika anak berbuat salah. Anak yang tumbuh dalam keluarga terbuka dan penuh kasih akan belajar bahwa aturan bukan sekadar perintah, melainkan cara untuk melindungi dan membantu mereka berkembang. Inilah fondasi dari kesejahteraan psikologis yang sehat perasaan bahwa mereka didengar, dimengerti, dan diterima apa adanya. Pada akhirnya, tujuan pengasuhan bukanlah menciptakan anak yang takut melanggar aturan, melainkan anak yang memahami nilai dari aturan itu sendiri.

Berbagai penelitian telah menegaskan bahwa pola asuh otoriter memang bisa menciptakan kedisiplinan, tetapi sering kali mengorbankan kesejahteraan psikologis anak.

Jika orang tua ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan bahagia, maka kombinasi antara ketegasan, empati, dan komunikasi terbuka adalah kuncinya. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih dan komunikasi yang terbuka akan berkembang menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan memiliki keseimbangan emosi yang baik dalam menghadapi kehidupan. 

Sebaiknya, cara mendidik yang otoriter dapat diubah menjadi lebih otoritatif, yaitu dengan tetap menetapkan batasan, namun disertai dengan komunikasi yang terbuka dan dukungan emosional yang penuh kasih. Pendekatan ini lebih seimbang dan biasanya memberikan efek positif yang berkelanjutan bagi anak.




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook

View all comments

Write a comment