




Walhi Bengkulu : Penerbitan SHM TNKS Pal VII Jelas Kangkangi Pasal 21 dan 50 UU Nomor 41 Tahun 1999

Onenewsbengkulu.com | Rejang Lebong - Kasus dugaan Penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Desa Pal VII, Kabupaten Rejang Lebong menjadi sorotan sejumlah pihak.
Kali ini, Walhi ( Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ) menilai jika aktivitas dan Penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Desa Pal VII, Kabupaten Rejang Lebong jelas mengangkangi Pasal 21 dan Pasal 50 dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang larangan dan sanksi pidana bagi pelanggaran terkait kawasan hutan dan hasil hutan. Pasal 21 mengatur larangan terhadap kegiatan yang dapat merusak hutan, sementara Pasal 50 mengatur larangan kegiatan yang dapat merusak hutan dan hasil hutan serta sanksi pidananya.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur WALHI Bengkulu, Dodi Faisal, Jum'at ( 11 / 7 / 2025 ). Dimana ia mengatakan secara tegas jika penerbitan SHM di dalam kawasan TNKS jelas melanggar Pasal 21 dan Pasal 50 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang sanksinya adalah pidana.
" Selain itu, penerbitan sertifikat tersebut juga bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang tegas melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam.
Bahkan, sambungnya, kuat dugaan jika adanya praktik mafia tanah dalam kasus ini, serta keterlibatan oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menerbitkan SHM di kawasan yang seharusnya dilindungi.
“Kami meminta penegak hukum untuk mengusut tuntas praktik mafia tanah yang kami duga terjadi di sini. Karena tanpa keterlibatan institusi yang berwenang, mustahil SHM ini bisa terbit di kawasan konservasi nasional. Apalagi jika mengacu kepada Sanksi Pidana bagi Pelanggaran terhadap Pasal 21 dan Pasal 50 dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sanksi yang lebih berat dapat dikenakan untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti yang diatur dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d, yaitu pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah),” jelasnya. ( Dnd ).